Rabu, 25 Juni 2008

Lapindo... :-(

Wahyudin Munawir, Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS

Kasus Lapindo dan Cermin Buram Rezim SBY-JK

Dua tahun sudah semburan lumpur panas Lapindo muncrat ke permukaan bumi Sidoarjo. Selama dua tahun itu pula pelbagai masalah muncul dan tenggelam. Di tengah ketidakjelasan itu, Lapindo tampaknya di atas angin. Secara umum Lapindo Brantas Tbk, perusahaan yang dituduh menjadi penyebab munculnya semburan itu, mulai bernapas lega karena sejumlah pengaduan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk menghukum Lapindo gagal karena dimentahkan pengadilan.


Dua tahun sudah semburan lumpur panas Lapindo muncrat ke permukaan bumi Sidoarjo. Selama dua tahun itu pula pelbagai masalah muncul dan tenggelam.

Selama dua tahun itu pula rezim SBY-JK tak bisa berbuat apa-apa, kecuali mencari dalih untuk lepas tangan dari persoalan lumpur panas dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya. Yang menarik, selama dua tahun, masalah hukum yang berkaitan dengan munculnya semburan lumpur panas tidak ada yang jelas.

Di tengah ketidakjelasan itu, Lapindo tampaknya di atas angin. Secara umum Lapindo Brantas Tbk, perusahaan yang dituduh menjadi penyebab munculnya semburan itu, mulai bernapas lega karena sejumlah pengaduan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk menghukum Lapindo gagal karena dimentahkan pengadilan.

Di pihak lain, sebagian politisi Senayan, khususnya dari Partai Golkar dan Demokrat, sudah sepakat bahwa semburan lumpur panas itu adalah bencana nasional. Karena merupakan bencana nasional, maka seluruh dampak yang timbul akibat semburan lumpur khususnya untuk mereka yang tinggal di luar wilayah terdampak menjadi tanggungan pemerintah (melalui APBN).

Puluhan ribu korban lumpur Lapindo yang hidupnya sengsara kini hanya menerima belas kasihan dari orang lain. Bagi rakyat korban Lapindo, pemerintah seakan-akan tidak ada.

Pemerintah yang seharusnya prorakyat, malah bertindak sebaliknya, pro-Lapindo. Ini terbukti dari berbagai kasus, mulai dari kompensasi warga yang tidak jelas ujung pangkalnya, pengalihan tanggung jawab kasus kompensasi warga yang dirugikan Lapindo kepada pemerintah, dan gagalnya rakyat setempat mengadukan permasalahannya kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Orang-orang pemerintah seperti melakukan kur dan nyanyian bersama menyalahkan alam sebagai penyebab bencana, bukan Lapindo. Sebuah taktik jitu untuk mengelabui rakyat karena alam memang tidak pernah bisa berbicara terus terang, apakah ia bertanggung jawab atau tidak.

Hebatnya lagi, pemerintah pun bisa mengooptasi sejumlah ilmuwan untuk menyatakan bahwa kasus Lapindo adalah bencana alam (termasuk ilmuwan BPPT dan LIPI). Meski demikian, masih ada ilmuwan yang jujur yang menyatakan bahwa kasus Lapindo adalah akibat kesalahan manusia (termasuk Dr Adriano Mazzini dari Swedia dan Prof Mori dari Jepang).

Dari perjalanan mengatasi problem korban Lapindo, kini rakyat sudah mengetahui bahwa antara Lapindo dan Jakarta terjadi kolusi untuk membohongi rakyat yang terkena bencana. Dari berbagai peristiwa, opini masyarakat memang sudah mengarah ke sana, pemerintah selalu mendukung Lapindo.

Itulah sebabnya tahun lalu ratusan warga Sidoarjo datang ke gedung DPR dan Istana. Bahkan, gedung DPRD Sidoarjo diserbu massa karena dituduh menjadi antek Lapindo.

Kita masih ingat, di awal-awal semburan lumpur panas muncrat Mei 2006, pemerintah sangat percaya diri akan bisa mengatasinya dalam waktu satu bulan. Ternyata bulan demi bulan, bahkan sampai sekarang, janji tersebut nol besar.

Pemerintah baru menyadari bahwa kasus Lapindo bukanlah kasus lokal, tapi kasus nasional. Kasus nasional karena Lapindo menjadi simbol ketidakmampuan rezim mengatasi pelbagai persoalan. Ada persoalan hukum yang berkaitan dengan kesalahan teknis Lapindo (baca: semburan itu muncul karena dalam pengeboran minyak, Lapindo tidak memakai selubung untuk menghindari blow up lumpur dan air).

Berikutnya, persoalan keberpihakan kepada rakyat yang terkena bencana. Persoalan ketidakberdayaan rezim menghadapi kekuasaan Bakrie Group yang berlindung di baju partai terbesar (Golkar) dan uang.

Belum lama ini, Aburizal Bakrie, big bos Lapindo, ditetapkan sebagai orang terkaya di Asia Tenggara oleh majalah Globe Asia edisi Mei 2008. Jumlah kekayaan Bakrie menurut majalah itu 9,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 90 triliun, naik sembilan kali lipat dibanding kekayaannya pada 2007 yang sebesar 1,05 miliar dolar AS.

Dengan kekayaan sebesar itu, mestinya Bakrie sebagai pemilik mayoritas Lapindo Tbk bisa memberikan ganti rugi yang layak kepada para korban lumpur Sidoarjo, khususnya kepada korban yang berada di luar wilayah terdampak. Tapi apa lacur? Alih-alih memberikan ganti rugi yang layak kepada korban Lapindo, Bakrie justru menyerahkan tanggung jawab ganti rugi tersebut kepada pemerintah.

Pemerintah yang tak pernah tahu-menahu bagaimana proses munculnya semburan itu, tiba-tiba disuruh bertanggung jawab terhadap korban lumpur. Siapa yang menyuruh? Mudah-mudahan bukan Aburizal Bakrie.

Dari gambaran itulah kita tahu betapa lemahnya rezim SB-JK menghadapi persoalan rakyat korban lumpur Lapindo. Dalam kasus semburan lumpur, SBY jelas menggunakan politik belah bambu. Satu bambu diinjak, satu bambu lagi diangkat. Rakyat diinjak, sementara orang itu yang punya kuasa dan punya uang diangkat lagi. Hasilnya, pemerintah lebih propengusaha yang cari untung ketimbang prorakyat yang buntung.

Fenomena ini juga bisa menjelaskan kenapa SBY-JK menaikkan harga minyak. Padahal sejumlah elemen masyarakat, seperti pengusaha, politisi, dan elite ekonomi yang prorakyat telah wanti-wanti agar SBY tak menaikkan harga minyak. Sebab, akibat kenaikan tersebut harga barang-barang kebutuhan sehari-hari melonjak drastis.

Rakyat kecil yang terkena dampak bencana nyaris tak bisa berbuat apa-apa. Apakah nasihat prorakyat itu diikuti? Tidak! SBY-JK memang lebih suka propasar neoliberal.

Kasus Lapindo, kasus kenaikan harga BBM, dan kasus blue energy bisa menggambarkan siapa dan apa rezim SBY-JK. Mereka adalah bukan manusia-manusia pemberani yang membela rakyat. Sebaliknya, manusia-manusia yang penakut kepada para pengusaha.

Di pikiran para pimpinan negara tersebut, hidup hanya untuk ekonomi dan ekonomi. Mereka lupa bahwa hidup bernegara adalah hidup untuk saling melindungi, saling kerja sama, saling memahami, dan saling berbagi rasa. Tujuannya, seperti disebutkan Pasal 33 UUD 45, demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Tidak ada komentar: